Dunia homeschooling di Indonesia dibuat heboh oleh penelitian PPIM-UIN Jakarta yang kurang lebih menyatakan bahwa homeschooling rawan dimanfaatkan sebagai penyebaran paham radikalisme, terutama homeschooling yang berbasis agama. Penelitian ini sebenarnya hal yang biasa saja dan tidak mengherankan kalau buat saya. Sebagai orang yang dulu mengelola komunitas homeschooling sekitar sepuluh tahun, saya sudah mengetahui adanya gejala ini sejak sekitar tahun 2010.

Waktu itu ada beberapa keluarga menjalankan homeschooling karena ingin memurnikan agamanya, dengan begini mereka juga membatasi pergaulan anak-anak mereka sejak dini dengan mengijinkan anak-anak itu bergaul dengan teman yang seagama saja. Jadi gejala ini tidak hanya ditemui akhir-akhir ini, tapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Pada homeschooling yang modelnya seperti ini, sangat masuk diakal jika dikatakan bahwa homeschooling bisa menjadi sarana penyebaran paham radikalisme. Tapi tidak semua homeschooling seperti ini, model homeschooling itu sangat beragam dan banyak diantaranya sangat bermanfaat.

Sebetulnya apa itu “radikalisme”?
Mari kita kunjungi kamus supaya bisa memiliki pemahaman yang sama tentang “radikalisme” ini. Dalam kamus, ada tiga pengertian radikalisme:
Paham atau aliran yang radikal dalam politik
Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis
Sikap ekstrem dalam aliran politik

Mengapa radikalisme sebaiknya tidak dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat?
Orang yang radikal cenderung menganggap orang dari pihak yang berbeda itu sebagai musuh yang harus diperangi, bahkan dimusnahkan agar tidak mengganggu mereka. Mereka tidak lagi bisa mengembangkan sikap toleransi pada yang lain. Padahal, kemajemukan adalah ciri khas masyarakat. Majemuk dalam pola pikir, cara hidup, keyakinan, dan fisik. Dan hanya dengan toleransi saja masyarakat bisa hidup damai bahkan saling mengembangkan.

Radikalisme dalam homeschooling
Homeschooling, dengan luasnya metode yang pada dasarnya merepresentasikan nilai-nilai yang dianut keluarga, bisa dikembangkan ke arah manapun. Umumnya keluarga berangkat dengan niat yang tulus untuk meluhurkan idealisme keluarga baik itu dalam hal pendidikan atau pandangan hidup yang lain, atau menyembuhkan trauma akibat perlakuan terhadap anak di sekolah formal. Nah, alasan yang pertama itulah yang seringkali dipakai menanamkan radikalisme pada anak.

Metode pendidikan yang sifatnya sangat bisa disesuaikan dengan kondisi keluarga membuat homeschooling seringkali dipilih untuk menyampaikan cara mendidik yang tidak bisa didapat di sekolah. Dengan begini, metode dan materi pendidikan apapun bisa diberikan pada anak. Entah itu materi yang berbasis sains, agama, bahasa, pembentukan karakter, semua bisa dijadikan pondasi dominan dalam pengajaran anak.

Celakanya, kondisi ini sering dimanfaatkan orangtua untuk menyampaikan ajaran-ajaran radikal dan ajaran-ajaran yang tidak memiliki kebenaran, sehingga justru menyesatkan seorang anak. Ajaran yang radikal pun sangat berbahaya untuk negara dan masyarakat sekitarnya. Apalagi jika didukung oleh kondisi masyarakat yang individualis atau bahkan yang menganut budaya sungkan. Masyarakat yang seperti ini membuat keluarga penganut paham radikal tenang melakukan aktivitasnya, mereka memiliki privacy yang sangat luas.

Saat ini negara kita dalam usaha memberantas paham-paham radikal yang bisa mengacaukan kehidupan masyarakat. Paham radikal ini menimbulkan perpecahan dan bencana. Negara ini membutuhkan campur tangan dari penduduknya untuk memberantas radikalisme yang membahayakan.

Saya sendiri percaya, bahwa seorang anak akan mendapat pendidikan yang menyeluruh jika banyak komponen masyarakat yang dilibatkan di dalamnya. Ini berarti bahwa pendidikan yang sangat tertutup hanya akan mengurung anak pada pola pikir yang menyempit pula. Bayangkan jika ada banyak anak yang dididik dengan paham radikal menggunakan cara seperti ini, apa yang terjadi pada negara ini?

Namun dibalik segala bayang-bayang gelap ini, homeschooling merupakan jawaban atas kerisauan banyak keluarga terhadap pendidikan anaknya. Dan saya yakin, dari sekian banyak keluarga homeschooling, mereka yang memanfaatkannya secara positif lebih banyak jumlahnya daripada yang menyesatkan anaknya melalui radikalisme.

Oleh karena itu, jika homeschooling hanya dipandang sebagai sumber dari radikalisme, itu salah. Ada banyak keluarga yang menjadikan homeschooling sebagai jalan untuk mencapai keberhasilan anak dalam pendidikan. Anak jadi lebih memahami dunianya, lebih bisa mengikuti passionnya, dan lebih percaya diri. Itu semua karena pola pendidikan homeschooling yang lebih memperhatikan kebutuhan dan kondisi anak, bukan sekedar menyeragamkan pola pikir anak dan menstandarkan berdasarkan patokan angka-angka nilai raport.

Waktu saya menyebut dalam suatu postingan di medsos bahwa homeschooling dikaitkan dengan radikalisme, ada yang berkomentar: “Jangan-jangan setelah ini dilarang homeschooling.” kemungkinan ini ada, jika pemerintah tidak tanggap terhadap homeschooling dan masih menganggapnya bukan sebagai satuan pendidikan yang harus diperhitungkan keberadaannya.

Jangankan memperhitungkannya sebagai satuan pendidikan, memahaminya pun tidak. Banyak sekali saya jumpai di forum-forum, bahwa jajaran pemerintah tidak memahami hakikat homeschooling, beberapa diantaranya masih menempelkan ciri khas sekolah formal kepada jalur pendidikan informal ini. Sepertinya ini adalah PR pemerintah dari waktu ke waktu, bukan hanya pada pemerintahan pak Jokowi, tapi sudah sejak dulu ketika saya memulai homeschooling yaitu sekitar tahun 2008.

Dengan memahami tentang keberagaman praktek homeschooling keluarga, maka kebijakan yang dihasilkan pun akan bisa tetap memelihara yang baik, dan memangkas yang menyebarkan radikalisme. Sehingga kebutuhan anak pada pendidikan yang sesuai dengan dirinya dan keluarganya tetap bisa terjamin pemenuhannya. Itulah harapan kami, keluarga homeschooling yang sampai saat ini merasakan indahnya belajar bersama dalam keluarga dan membaur dengan masyarakat dalam keberagaman serta kebermanfaatan

Dialog dan kerja sama antara pemerintah dengan keluarga homeschooling sebaiknya semakin sering diadakan, tidak hanya melalui perwakilan satu lembaga yang mengatasnamakan homeschooling saja, tapi lebih banyak dan beragam karena wujud homeschooling itu sendiri sangat beragam. Jika hanya berdialog dengan satu lembaga, maka gambaran homeschooling yang didapat pun tidak bisa mewakili kondisi di Indonesia.

Kami sebagai keluarga homeschooling tunggal dengan senang hati akan berdialog dengan pemerintah untuk memberikan gambaran tentang homeschooling yang kami jalani dan menyampaikan harapan kami pada pemerintah, supaya kehidupan homeschooling kami tidak dicurigai sebagai penyebaran paham radikal namun kami mendapat dukungan sepenuh hati dari pemerintah yang memahami kami supaya bisa mendidik anak dengan lebih baik.