Selamat malam.... kenalkan saya Maria. Narasumber kita malam ini sudah siap, yaitu ibu Patricia Lestari Taslim. Sekilas perkenalan, Ibu Patricia ini ketua umum APRINESIA, Sebuah perkumpulan untuk keluarga yang mendidik anaknya melalui pendidikan berbasis keluarga.
Ibu Patricia sudah membimbing anaknya melalui pendidikan berbasis keluarga hingga lulus tingkat SMA. Oleh karena itu pengalaman beliau dengan ujian kesetaraan ini sudah sip banget.
Saya langsung saja, akan saya paste materi dari ibu Patricia:
Liku-liku Mencari Ijazah
Mei 2011, ketika awal menapak dunia PBK, kami melangkah dg penuh keyakinan bahwa pasti ada jalan. Hambatan dan tantangan kami lalui. Dengan berjalannya waktu, kami pun mulai berpikir tentang bagaimana agar anak kami dapat memperoleh ijazah.
Berbagai informasi pun berusaha kami kumpulkan tentang apa, di mana, dan bagaimana kami dapat mengupayakan ijazah anak kami secara legal. Informasi demi informasi pun kami peroleh. Herannya, semua merujuk ke satu kota kecil di Jawa Tengah. Saya pun mencoba mencari informasi tentang prosedur mengikutkan anak kami ujian di kota tersebut secara legal. Dan akhirnya kami pun memperoleh informasi yang kami harapkan.
Tidak selesai sampai di situ, rasa penasaran saya akhirnya membuat saya berusaha mencari informasi lain. Dengan bantuan seorang teman, akhirnya saya dipertemukan dengan seseorang yang dapat membantu kami agar anak kami dapat menempuh ujian di Yogya, tidak perlu ke kota lain. Sebut saja Pak X. Lewat Pak X kami dipertemukan dg Pak Y dan bu Z. Ketiganya sangat membantu, dengan informasi yang sangat detil.
Tak dapat dipungkiri, setelah menerima kami dan mendengar keluhan kami yang sudah hampir 2 tahun menjalani pendidikan berbasis keluarga, akhirnya kami dibantu maksimal agar dapat menempuh ujian, setelah kami memenuhi segala persyaratan yg sudah ditentukan. Semua GRATIS, sekali lagi GRATIS!
Walau karena kesalahan administrasi alias kesalahan manusia, kemudian 7 dari 8 peserta UNPK tidak dapat menempuh UNPK pada th 2013 tersebut, tapi akhirnya, mereka semua diperkenankan untuk menempuh UNPK pada tahun ajaran berikutnya. dengan tanpa menunda masa belajar yang sudah diperkenankan untuk melanjutkan ke jenjang berikut.
Jadi, pada saat mereka menempuh UNPK A, sesungguhnya secara masa studi, mereka sudah menjalani tahun pertama sebagai warga belajar Paket B.
Bukan itu yang ingin saya jelaskan, tetapi bahwa semua itu kami tempuh secara GRATIS, dan masing-masing kami hanya dikenakan uang administrasi sebesar Rp 25.000 saja pada saat pengambilan ijazah, yang konon untuk mengisi kas. Saya tidak tahu, apakah 7 peserta lain juga membayar biaya pengisi kas ini, tetapi saya pribadi. membayar uang yang diminta ini walau TANPA tanda terima. Saya ikhlas.
Bahkan saya. dan para orangtua lainnya. pada tahun 2014, sempat bantingan. untuk sekedar ucapan terima kasih kami pada petugas yang sudah bekerja keras membantu kami. Uang hasil bantingan tersebut, akhirnya kami belikan sebuah gadget sederhana. Mengapa tidak diberikan dalam bentuk uang? Kami khawatir disalahartikan. Jadi ketika beberapa waktu kemudian sempat muncul sebuah status di media sosial yang menganggap kami adalah keluarga bermental GRATISAN, mungkin karena adanya kesalahpahaman. Dan Kami pun tidak berminat untuk membantahnya lebih lanjut.
Lalu mengapa hal ini sekarang saya buka?
Hanya untuk memberikan penjelasan kepada para pemerhati jalur untuk menempuh ujian bahwa "ada yang harus dibayar" untuk memperoleh sebuah ijazah. Apakah dengan perjuangan, dengan kejujuran, dengan hinaan, atau dengan sejumlah rupiah dan jalan pintas. Semua jalan boleh saja dipilih untuk ditempuh. Tergantung dari kesiapan kita sebagai orangtua untuk menjalaninya.
Adapun karena upaya yang kami lakukan kemudian saya mendapat predikat sebagai seorang ibu yang bermental GRATISAN, bagi saya, tidak masalah. Paling tidak saya sudah membuktikan, bahwa sebetulnya jalur untk menempuh ujian dan mendapatkan ijazah bagi keluarga praktisi pendidikan berbasis keluarga dapat ditempuh melalui berbagai cara dan secara sistem, sebetlnya dapat diperoleh secara GRATIS. Tetapi dalam prakteknya. selalu ada pihak-pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk membantu. Ada keluarga yang merasa terbantu, sah-sah saja menggunakan cara ini.
Ada keluarga yang ingin gampang dan memilih membayar dengan ekstra rupiah agar segala persiapan persyaratan dibantu oleh "jasa" yang membantu, pun tidak ada larangan. Tetapi ketika uang menjadi hambatan untuk "membayar". hendaknya secara birokrasi pun dapat dimudahkan.
Liku-liku memperoleh tidak menyurutkan kami untk mengusahakan agar anak kami memiliki ijazah. Bahkan jauh-jauh hari, kami sudah mulai mencari informasi jalur yang harus ditempuh dan persyaratan yang harus dipersiapkan untuk dapat menempuh ujian dan memperoleh ijazah.
Tanpa bermaksud mendewakan makna selembar ijazah, kami berusaha memberikan pemahaman pada putri kami tentang pentingnya ijazah baginya. Kenyataannya, kami lebih mengutamakan ketrampilan dan keahlian yang dimiliki oleh putri kami. Tetapi bahwa kami masih berpijak di bumi nusantara yang masih memandang ijazah sebagai selembar kertas yang berarti, maka kami tidak ingin menyepelekan kebutuhan akan ijazah. Maka kami, berusaha mendukung setiap potensi yang ada dalam diri putri kami untuk berkembang, tanpa meninggalkan pentingnya selembar kertas yang disebut ijazah. Bukan dengan cara yang ilegal, tetapi tetap dengan cara yang legal. Karena ijazah bagi kami, lebih sebagai sebuah perlengkapan yang tersedia, BILA KELAK DIPERLUKAN.
Untuk itulah, kami selalu menekankan pada putri kami: selama masih menginjakkan kaki di bumi nusantara, jangan pernah mengabaikan perlunya selembar ijazah. Setidaknya untuk saat ini. Dan itu sebabnya, kami masih mewajibkan putri kami untuk tetap mengikuti ujian untuk memperoleh selembar ijazah. Kami tidak pernah tahu, apakah ijazah-ijazah itu kelak akan berguna bagi kehidupan putri kami, kelak. Tetapi satu yang kami tahu: bahwa kami sebagai orangtuanya, BERKEWAJIBAN untuk membuka pintu masa depan putri kami seluas-luasnya. Bukan dengan menciptakan hambatan dengan mengabaikan perlunya sebuah ijazah.
Tetapi satu yang kami tahu untuk saat ini bahwa putri kami tidak akan bisa mendaftar untuk ikut SBMPTN bila tidak memiliki selembar kertas yang bernama ijazah. Bahkan pintu tersebut SEPERTINYA masih tertutp rapat, bagi mereka yang tidak memiliki NISN. Bersyukur, putri kami pernah duduk di bangku sekolah walau hanya sampai jenjang pendidikan dasar, karena dengan demikian, putri kami sudah memiliki NISN
Bersyukur, putri kami mau menerima penjelasan kami untuk tetap menempuh jalur ujian dan memperoleh ijazah. Kalau tidak. . . maka saya tak akan mampu menuliskan cerita ini untuk berbagi pengalaman dan semangat. Kami tidak pernah tahu apakah beberapa tahun ke depan, ijazah masih akan menjadi selembar kertas yang penting dan begitu berharga.
|